aku terlahir dengan penyakit yang amat membuat ibuku selalu cemas dan itu amat kubenci dalam hidupku. penyakit ini pun sudah hampir parah sekali. bahkan dokter mulai memprediksikan sisa hidupku. semakin dewasa semakin parah dan ganas penyakit ini, semakin tak berdaya pula tubuh ini, dan semakin semakin cemas pula ibu hingga ia merelakan pekerjaannya demi aku. kini ia bukan wanita karir lagi. ia pun menyewa suster untuk merawatku dirumah. aku tak sekolah secara biasanya. home schooling. ku tak tahu dunia luar seperti apa dan bagaimana. dari kecil ku sudah dikurung dirumah yang penuh dengan perhatian dan kecemasan yang membuatku terkadang bosan dan membencinya sampai umurku 14 tahun. aku tak punya teman selain satu boneka yang amat kusuka dan jadi sahabatku, juga buku-buku catatan tempat dimana ku bisa berinspirasi atau menuangkan rasa sakitku. sakit batin ataupun karena penyakitku ini. ku benci jikalau ku harus meminum berbagai macam obat namun rasa sakitku tetap ada dan aku tak kunjung sembuh. dan ku benci bila ku harus berpura-pura berkata aku baik saja padahal rasa sakitku tak tertahankan aku takut ibu mencemaskanku aku sudah bosan dengan kecemasannya dan kata-kata yang sering dilontarkannya itu-itu saja.
suatu hari ibu pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani penyakitku. suara bel berbunyi, aku membuka pintunya. kupikir ibu. ternyata pengantar pizza. kumenutup pintunya. dan kulangsung menelpon ibu dan bertanya apakah dia membelikanku pizza? dan ternyata benar, aku takut pengantar itu salah kirim. kubuka lagi pintunya diamasih ada dan memberiku sebuah kotak yang sudah pasti isinya pizza itu.
"te-te-terima kasih." ucapku.
"sama-sama." jawabnya sambil tersenyum.
ketika ku makan pizza itu sambil menonton tv. tiba-tiba kuteringat rautnya. ku pikir ia tidak tua. aku mengira-ngira bahwa pemuda itu berumur 15 atau 17 tahunan. aku senang dengan senyumnya. dan itu pertama kalinya ada pemuda yang memberiku senyuman. namun tiba-tiba sepertinya anggapan negatif muncul dipikiranku "apakah dia senyum supaya aku membeli lagi pizza-nya?" dan anggapan positif kembali lagi "akh tidak juga senyum itu kan ibadah." itu membuatku bingun. aku tak memerdulikannya namun itu takkan kulupa.
esoknya, ku meminta uang pada ibu. untuk yang pertama kalinya.
"untuk apa?" tanyanya. "biar ibu belikan saja." lanjutnya.
"tidak bu, ku ingin beli pizza sendiri." jawabku. "biar ibu telfonkan ya untukmu."tawarnya.
"tak bu, aku ingin melakukannya sendiri." bantahku menatapnya. "baiklah, tapi ingat jangan macam-macam. ini ibu beri kau uang." dan pergi ke dekat kolam ikan dibelakang rumah.
aku langsung menelpon nomor tempat pizza yang kemarin ibu beli, yang kutemukan ditutup kotaknya.
"hallo aku pesan pizza beef chicken-nya satu diantar ke alamat....."
tak lama, bel berbunyi. kusemangat membukanya. ternyata pemuda itu lagi.
"terima kasih." sambil tersenyum dan tak canggung.
"sama-sama dek," tersenyum.
aku berlari kekamar tidurku setelah memberinya uang tuk membayar sekotak pizza yang sudah ada didepan mataku. aku tertawa sendiri, tersenyum sendiri, dan akhirnya ibuku cemas lagi.
"aku tak apa bu sungguh, aku merasa bahagia saja." menegaskan padanya.
"baiklah. tetap hati-hati ya." sambil menutup kembali pintu kamar.
untuk pertama kalinya aku lupa kalau hidupku dapat dihitung jari. dan untuk pertama kalinya rasa sakitku tak menjerit ditubuhku. malam itu ku tertidur pulas. sangat pulas.
"ibu ayolah aku ingin sekolah diluar. aku baik saja." pintaku dipagi yang cerah itu. "aku tak ingin belajar dirumah." cemberut. "bagaimana ibu bisa yakin kau baik saja sedangkan wajahmu semakin hari semakin pucat!" itu membuatku kesal. ku berlari menuju kamar tidur lalu menguncinya. di hari itu aku kembali teringat akan sisa hidupku.
namun memang tak salah kulihat parasku dikaca aku semakin pucat, terlihat semakin lesu, semakin semakin tak berdaya, dan penyakitku ini semakin semakin semakin parah. suatu malam, penyakitku kambuh lagi, ibu juga ayahku langsung membawaku ke rumah sakit mereka menemukanku tergeletak dibawah lantai. ketika tersadar aku lihat ibu yang sedang mencium tanganku dengan tetesan air matanya, juga ayahku yang mengusap keningku. penyakit ini seperti terus membunuh, menusukku dari dalam. aku hanya pasrah. mungkin ini malam terakhirku berada dibumi.
pagi hari yang indah, kejutan yang tak kuduga dibuat oleh ibu. ibu dan HAH??? pemuda pengantar pizza??? datang menjengukku. pemuda itu berseragam layaknya pengantar pizza sambil memegang sekotak pizza.
"kau suka ini bukan?" tanya ibu sambil menangis. aku memeluk ibu. dan aku tak kuasa tuk menahan tangis dikala ujung hidupku. "hai.. kuharap kau bisa sembuh. aku akan ajak kau untuk mengantar pizza-pizza ke tiap rumah. mau?" sambil tersenyum. aku mengangguk dengan air mata yang semakin menderas. "namaku Rio aku bekerja paruh waktu agar aku bisa membantu ibu membiayai sekolahku. sebagai pengantar pizza." sambil tersenyum dan menyerahkan sekotak pizza yang masih hangat itu. ayah pun ada ia menyusul. kami semua makan siang denga pizza yang ibu beli tadi. disore hari aku kembali. mulai mencemaskan orang-orang disekitarku lagi. dokter sudah tak bisa apa-apa. ia pasrah. aku pun hanya terbaring menunggu kedatangan malaikat yang akan mengantarkanku kealam yang baru dimana entah ku kan bertemu ibu, ayah, dan pemuda pengantar pizza bernama Rio itu lagi. ibu, ayah, dan Rio tetap ada disampingku. mereka mengharapkanku membuka mata. namun semua itu tak kulakukan. aku semakin semakin membuat tangis mereka menderas, apalagi ibu. ia hampir pingsan. aku semakin pasrah aku hanya membuat mereka khawatir dan merepotkan hidup mereka. hingga akhirnya harapanku didengar tuhan. ia memanggilku dengan panggilannya yang begitu lembut, halus, anggun, dan sejukkan hati untuk mengajakku ke tempat-Nya.dan soal Rio sudah kutitipkan surat untuknya kepada ibu. good bye mom good bye dad good bye Rio. just take it there will be no more things that can make you the hassle and worry. I've gone.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar