aku hidup bersama ayah, ibu yang selalu memberikan apa yang kuinginkan. tak pernah mereka tak penuhi pintaku. apa yang kuingin pasti saja dikabulkan. aku bahagia. ku dapat menikmati segala macam fasilitas pribadi ataupun yang ada dirumah ini. aku bebas tuk melakukan apa saja. mereka tak pernah melarangku. namun, ku bertemu mereka hanya pada saat pagi hari saja saat kita berada dimeja makan untuk sarapan. namun itu pun terkadang. mereka selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. mereka tak pernah bertanya apakah kabarku? bagaimanakah sekolahku? atau basa-basi denganku. ingin ku berteriak pada mereka meminta mereka tuk hentikan segala aktifitas yang membuat hubungan kami menjadi renggang. sudah kucoba. alhasil mereka malah semakin acuh dan memberiku berbagai barang-barang yang aku sendiri tak memintanya.
"Pah, Mah, besok hari sabtu. ke puncak yu?" ajakku saat makan malam.itu pun tanpa terencana. biasanya mereka pulang tengah malam. ketika ku memulai membuka lembar mimpiku.
"hahhahahahahah." serempak mereka tertawa. aku malah bingung dan mengerutkan keningku.
"sayang, kamu itu kayak yang enggak tau aja, mama dan papa tak punya waktu untuk itu." sambil mengusap rambutku. "iyah nak, papa besok mau ke Singapore ada meeting penting tentang kerja sama bisnis papa." ujar papa. aku hanya diam. melihat tingkah laku mereka yang selalu sibuk. "mama pun besok akan ke Pontianak mama harus ngecek keadaan pabrik disana sekaligus ada rapat penting bersama karyawan. so, kamu sama mama dan papa ditinggal dulu ya." tersenyum padaku. "terserah mama dan papa saja, sana kerja sampai kalian benar-benar tak akan peduli padaku!!!" aku menangis sambil berlari ke kamar tidur.
sejak kecil, aku diurus oleh bibi Tini. ia sudah kuanggap sebagai mama. mama yang benar-benar impianku. sejak kecil aku sering ditinggal oleh mama dan papa. ketika umurku 5 bulan-an. mama dengan mudah melepaskan aku dan menyerahkan tugasnya kepada bi Tini. demi pekerjaannya. mereka pun tak tahu kalau ku mengidap penyakit. aku ingin bercerita pada mereka namun ku tahu mereka takkan pernah peduli. pasti ku malah diacuhkan untuk yang kesekian juta kalinya. tiap bulan ku chek-up ke dokter menanyakan keadaan diriku sendiri. tak ada yang tahu. Bi Tini pun tak mengetahui hal ini. aku meminta uang pada mama dan papa lalu ku gunakan untuk pergi ke dokter. mereka berpikir kalau aku menghabiskan uangnya itu untuk belanja dan pergi ke salon. namun, tak. aku tak begitu tertarik dengan hal itu. tiap kali ku chek-up keadaan ku selalu memburuk. dokter selalu bilang aku harus lebih waspada dan hati-hati. disekolah aku terkenal denga siswi yang paling sering pingsan, aku tak pernah ikut pelajaran olahraga, absen karena sakit pun sering sekali kulakukan. mungkin itu karena daya tahan tubuhku yang sudah tak bisa menahan kanker otakku ini. ibuku dulu pernah bercerita ternyata kakek meninggal karena ia mengidap kanker otak yang dialami sejak ia kecil, dan baru ketahuan saat berumur 20 tahun. dan pada akhirnya ketika ku berumur 10 tahun-an aku sering sangat sering sakit kepala disertai muntah, mata terasa minus, kejang, banyak temanku bilang kalau aku semakin banyak mengalami perubahan sikap, gaya bicaraku berbeda dengan teman sebayaku. dan ketika umurku 15 tahun ku sudah benar-benar tak tahan dengan rasa pusing disertai muntah yang sering menjumpaiku hampir tiap hari dan rasanya semakin mengganas. akhirnya kuputuskan untuk pergi ke dokter. dan hasil ct scan pun menyatakan aku positif menderita kanker otak. sejak saat itu setiap bulan aku chek-up ke dokter tanpa mama dan papa mengetahuinya. aku hanya meminta uangnya lalu kubilang bahwa aku menggunakan uang itu untuk rekreasi atau mentraktir teman.
aku tak punya sahabat ataupun teman. entah karena ku terkenal sakit. mereka menjauhiku. mereka mengira bahwa aku menderita penyakit menular yang mematikan. mereka enggan menjadi temanku. aku sering bertanya pada tuhan "mengapa ku dilahirkan ke dunia ini dengan mama dan papa yang seperti itu keadaannya, dengan penyakit yang setiap hari membuatku menderita tanpa satu orang pun tahu, dan tanpa teman atau sahabat yang bisa merasakan apa yang kurasa?" namun itu tak ada gunanya. ini hidupku. dan menderita adalah takdirku. akhir-akhir ini mama dan papa sering bertengkar. mama memaki-maki papa karena papa ketahuan makan malam bersama sekretarisnya, begitu pula mama. papa mengira mama berbisnis hanya untuk membiayai pacar yang usianya terpaut jauh lebih muda dibanding mama.
"APA????? KAMU TUH BERANINYA MAKAN, JALAN-JALAN, SAMA CEWEK KEGATELAN. JANGAN-JANGAN SUDAH KAU NIKAHI DIA SECARA SIRI YA." suaranya keras terdengar hingga kekamar tidurku dilantai atas. "KAMU PIKIR, KAMU TAK PUNYA SALAH APA??? DASAR ISTRI DURHAKA SELINGKUH SAJA DENGAN REKAN BISNISMU YANG BERONDONG ITU. KELUAR KOTA TAUNYA LIBURAN SAMA-SAMA." begitupula suara papa. itu semua membuatku sakit semakin sakit. sakit karena batinku. begitu pula penyakitku yang muncul kembali tuk menyiksa diriku tuk membuatku mati secara perlahan. "Non, non, boleh bibi masuk?" sambil mengetuk pintu. suara Bi Tini yang seperti orang kecemasan. "Jangan dulu Bi Tini aku sedang pakai baju." jawabku dengan suara yang amat lemah tuk menahan sakitnya penyakit ganas yang kurasakan. aku berbohong pada Bi Tini. tak lama suara Bi Tini tak muncul lagi. aku pikir dia sudah pergi. aku langsung meminum obat yang diberikan dokter lalu terbaring lemah dilantai.
"sudah pagi rupanya. kupikir aku takkan temukan kau mentari. aku pikir tadi malam adalah hari terakhirku mengencani bulan dan bersantai dengan angin malam tuk rasakan kematianku." berbicara sendiri. "Non,, non Bi Tini boleh masuk?" suaranya kembali terdengar. "Iya bi boleh." jawabku. "Ekh non kok ada dilantai gini wualah untung ada karpet, non jatuh yaa. mimpi apa sampai jatuh seperti ini? ayo mandi sama sarapan sudah pagi. non harus kesekolah." suruhnya sambil membereskan tempat tidur yang semrawut. aku terbangun lalu memeluknya. aku menangis aku benar-benar merasakan kehangatan disana. aku seperti hidup. benar-benar rasakan kasih sayang. "non yang sabar yaa, non lagi diuji sama Sang maha Kuasa. mama sama papa non sudah pergi ke kantor." nasihatnya. "Bi Tini boleh aku panggil Bi Tini dengan kata mama?" pintaku. "akh non berlebihan jangan ya nanti nyonya marah sama bibi, gak pantes non." jawabnya. "aku ingin Bi, mama takkan marah ia tak peduli padaku. boleh yah?" rayuku. "baiklah terserah non saja," smabil tersenyum memandangku. aku memeluknya seraya berkata "jangan panggil aku non, panggil aku nak, seperti yang Bi Tini ucapkan pada anak Bi Tini." pintaku lagi. "Iya boleh."
hari-hariku serasa semakin hidup, kasih sayang yang Bi Tini berikan padaku benar-benar kurasakan. meski itu sudah sejak umurku 5 bulan. aku diajarkannya memasak. aku juga membantunya membereskan rumah. namun, sudah 5 hari mama dan papa tak pulang kerumah. entah kemana mereka pergi. aku yakin mereka tak pergi bekerja. mereka menghindar dari masalahnya. hanya aku dan Bi Tini yang kini tinggal dirumah yang dulu pernah kusebut Neraka.
malam yang indah. bintang-bintang berkedip mesra padaku. angin sepoi menyapa rambutku yang terurai dimalam itu. bulan pun bersinar penuh. ku memandang itu dibalkon kamar tidurku yang menghadap kejalanan sepi. diseberangnya terdapat rumah yang tak terlalu megah namun serasa penuh kehangatan disana. Bi Tini bilang itu rumah paling sederhana diperumahan elite sini namun, keluarganya paling akur, tak pernah ada pertikaian, 1 minggu sekali mereka berlibur bersama, kehangatan benar-benar dapat kurasakan dari binar-binar cahaya lampu yang terang. "keluarga bahagia" celotehku.
tiba-tiba penyakitku kembali kambuh. aku mulai merasakan sakit yang amat tak tertahankan. bahkan lebih dari sakit. ini benar-benar membunuhku. aku memegang otakku keras-keras ingin ku bentur sekeras mungkin aku tergeletak dilantai lagi, aku muntah. banyak sekali. pusingnya kembali menyerang dengan sakit yang lebih dahsyat amat dahsyat. wajahku memerah karena tak tahan akan sakitnya yang mengganas. aku ingat kata-kata yang dilontarkan dokter. aku merasakan aku takkan lama.
Esoknya, gerimis dipagi itu. menyelubungi pemakamanku yang membuat keluargaku, orangtuaku, dan Bi Tini, meneteskan air mata. malam tadi adalah benar-benar malam terakhir ku mengencani bulan, bintang, serta menyapa sapaan angin malam. Pelukkan Bi Tini diwaktu itu. adalah pelukkan terakhir dan kurasakan kasih sayang tuk yang terakhir bukan dari Ibu kandung sendiri. aku hanya tersenyum melihat tangis menderai dari air mata mamaku dan papaku. meski mereka begitu selama belasan tahun namun mereka tetap mama dan papaku orang yang berpengaruh dalam hidupku dan memegang peranan penting. kematianku membuat mereka sadar, mereka tak bertengkar lagi, penyesalan yang amat mendalam dapat kulihat dari paras orangtuaku. Kini mama dan papa tau semuanya. semua tentang aku, hidupku yang sebenarnya, dari buku catatan hidupku yang ternyata selalu Bi Tini liat ketika ku memegangnya. Itulah kisah mengerikan hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar